Selasa, 05 April 2016

The Grandson's Note: See You Again, Grandpa.

Aku, Lusio Erian Pradana Putra, kali ini menulis tanpa banyak basa-basi. Mengapa judulnya "Grandson"? Ya, karena aku cucu laki-laki tertua, baik di keluarga Bapak maupun Ibuku.

Dimulai dari sini........

Januari 2016. Masih teringat dalam pikirku, aku berhasrat untuk pergi ke kampung halaman, ke tempat kelahiranku. Klaten, Jawa Tengah. Sejatinya, aku memang lahir di Klaten, namun keluargaku memutuskan untuk menetap di Pandaan sejak 2001 karena alasan pendidikan untukku dan adik-adikku. Namun, karena ada pengeluaran rutin yang besar dalam keluarga, aku pun mengurungkan niatku. Sebenarnya, Ibu berpikir keras bagaimana cara untuk menyampaikan batalnya rencanaku untuk pergi ke Klaten, kepada semua Kakek-Nenekku. Namun aku tak kurang akal. Aku hanya meminta Ibu untuk berkata
"Io harus KRS-an, jadi nggak bisa ke Klaten". Kebohongan yang sangat menyakitkan, karena aku sama sekali belum mengunjungi Kakek-Nenekku semenjak aku berkuliah. Ada penyesalan mendalam, mengapa aku tak berusaha menyisihkan uang sakuku untuk sekedar berangkat. Urusan pulang, dipikir belakangan.

Februari 2016. Ketika semester 2 dimulai, aku berpikir keras bagaimana cara menyimpan uang sebanyak-banyaknya dari uang sakuku sebagai anak kos, baik untuk mudik ke Klaten saat Lebaran nanti, dan untuk membeli smartphone baru, mengingat smartphoneku saat ini sudah usang (bahkan saat tulisan ini dibuat, hanya bisa berfungsi sebagai Wi-Fi portabel). Namun rasanya teramat sangat sulit. Godaan untuk jajan sangat tak tertahan, namun anehnya aku kehilangan sebagian berat badanku, meskipun uangku habis untuk jajan. Sangat konyol memang, mengingat uang saku mingguanku sangat besar, bahkan jika dibandingkan dengan teman-temanku yang berasal dari kota, dimana mereka memiliki pengeluaran lebih besar di tempat asalnya (dan aku justru semakin kurus).

Maret 2016. Aku sempat memiliki hasrat untuk mengikuti salah satu cabang lomba dalam gelaran Pekan Seni Mahasiswa Universitas Brawijaya. Ya, salah satu cabang, yaitu Vokal Seriosa. Ya, Vokal Seriosa. Memang konyol, karena ini genre yang baru, dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Bernyanyi memang ada dalam darahku, Bapak-Ibu merupakan pasangan penyanyi (bahkan dipertemukan dalam sebuah paduan suara gereja, dan berduet di Misa Pernikahannya sendiri). Aku menyadari, bahwa untuk mengikuti cabang lomba tersebut, aku harus berada di tempat yang tepat. Aku harus berada di paduan suara fakultas, meskipun sejujurnya, aku tak terlalu nyaman di dalamnya. Sebenarnya, aku sudah berada di dalam paduan suara fakultas, namun aku lebih sering menghilang dan bolos latihan, karena suasana yang tidak begitu nyaman bagiku. Tidak begitu nyaman, bukan sepenuhnya tak nyaman. Dan yang terjadi adalah, aku terpilih menjadi salah satu delegasi fakultasku di cabang Vokal Seriosa Putra, cabang yang sangat kuimpikan. Tuhan mendengarkan harapanku, sangat mendengarkan.

22 Maret 2016, rangkaian lomba Pekan Seni Mahasiswa Universitas Brawijaya dimulai. Dibuka dengan Vokal Seriosa. Ada total 28 peserta putra dan putri, dan fakultasku mengirimkan masing-masing 2 peserta putra dan putri. Aku tampil sebagai peserta terakhir, 28 dari 28 peserta. Karena ini adalah kali pertamaku mengikuti lomba menyanyi genre ini, alhasil keteganganku memuncak, sampai-sampai tubuhku tergoncang seirama dengan degup jantungku. Wajar, aku ini batang lidi. Penampilanku tak memuaskan, namun aku tetap berharap untuk menang. Jika aku menang, aku pasti mendapat hadiah berupa uang, sehingga dapat kusimpan untuk mudik. Dan jika aku mendapatkan predikat juara 1, aku akan mewakili Universitas Brawijaya dalam Pekan Seni Mahasiswa Daerah Jawa Timur.

27 Maret 2016, Hari Raya Paskah. Malam harinya, Bapak menelpon Kakek, orang tua Bapak. Ucapan Selamat Paskah mengalir dari mulut, dilanjutkan dengan ucapan Bapak "Pak, nanti kami ke Klaten saat Lebaran, dan Io akan tinggal agak lama disana, karena liburnya lebih panjang". Berarti Bapak memastikan bahwa aku dan seluruh anggota keluargaku akan pergi ke Klaten saat libur Lebaran nanti. Dan aku diijinkan untuk tinggal lebih lama di sana, serta berangkat sendiri dengan menunggang Black Angel (Revo 110' 09), hadiah kuliahku.

31 Maret 2016. Inilah hari terakhir rangkaian Pekan Seni Mahasiswa Universitas Brawijaya, dan hasil dari semua perlombaan akan diumumkan. Acara penutupan diawali dengan sambutan dan penampilan dari beberapa orang penting dalam perlombaan ini, sampai pada sambutan Wakil Rektor 3. Setelah menyampaikan sambutan, beliau menyanyikan lagu "Ayah". Saat lagu itu dinyanyikan, mendadak aku teringat dan merindukan Bapak. Namun ada perasaan lain, seakan-akan aku ataupun orang-orang terdekatku akan kehilangan Ayahnya.

Sampai pada pembacaan pemenang cabang Vokal Seriosa Putra, aku terus berdoa, berharap namaku ada di tiga besar. Juara 3, bukan fakultasku. Juara 2, pun bukan masih bukan. Hingga akhirnya dibacakan juara 1, Fakultas Teknologi Pertanian yang mendapatkannya. Ya, itu fakultasku, namun bukan namaku yang dibacakan. Aku kecewa, sangat kecewa. Aku benar-benar harus memulai dari awal untuk menabung, sementara sudah seminggu lebih smartphone minta dipensiunkan. Perasaanku berkecamuk, sedih, kecewa, marah. Semuanya beraduk menjadi satu. Apalagi jika mengingat bahwa juara 1 putra dan putri mengikuti kursus vokal yang sama, dengan pemiliknya adalah salah satu juri Vokal Seriosa, semuanya makin menjadi. Perasaanku hancur berkeping-keping, haruskah aku kalah dengan cara seperti ini? Haruskah mereka juaranya? Haruskah, jika orang lain (selain aku) ada yang lebih baik? Rasanya sangat ingin aku kembali ke rumah, menceritakan semua pada Bapak-Ibu, yang juga sudah melatihku untuk lomba ini, untuk mengatakan "Akhirnya aku merasakan kejamnya dunia". Dan jika suatu saat aku menjadi lebih kejam, maka salahkan dunia yang mendidikku untuk menjadi seperti ini.

1 April 2016. Hanya berselang 1 hari. Pada hari-hari sebelumnya, aku selalu membeli susu kedelai yang dijajakan di sekitar kompleks fakultasku oleh seorang Bapak berusia sekitar 60 tahun, setiap hari. Namun pada hari itu, aku tak tergugah untuk membeli susu kedelai, meskipun aku berulang kali melewati Bapak penjual susu kedelai tersebut. Ada perasaan yang membuatku tak ingin membelinya. Benar-benar aneh, 2 hari yang aneh, sejak pengumuman, sampai hari tanpa susu kedelai.

Malam harinya, aku bercengkrama bersama 3 sahabatku di jenjang perkuliahan, menggunakan salah satu aplikasi perpesanan populer di kalangan mahasiswa. Dan kembali terjadi sesuatu yang aneh. Karena aku menggunakan aplikasi tersebut melalui komputer jinjing, aku mengetik cepat dan cenderung memenuhi obrolan. Rasanya aneh, aku ingin sekali memenuhi obrolan itu. Dan kami saling berkirim pesan hingga larut malam. Di sela-sela obrolan itu, salah satu dari 3 sahabatku mengirim pesan pribadi. Dia mengatakan bahwa dia sesak nafas dan minta diantar untuk periksa keesokan harinya. Aku mengiyakan permintaanya.

2 April 2016, aku baru tertidur sekitar pukul 1 pagi, dengan kamar kos yang lupa kukunci. Aku tertidur hingga sesosok laki-laki membangunkanku, tepat pukul 5 pagi. Ya, dia sahabat karibku, teman satu sekolah dari TK sampai SMA, bahkan kami berkuliah di kota yang sama: Malang. Dia awalnya mengetuk pintu kamarku, lalu mencoba membuka pintu kamarku, yang ternyata tak terkunci, dan membangunkanku. Lalu dia berkata, bahwa keluargaku tak dapat menghubungiku, dan ada sesuatu yang penting. Lalu aku mengecek komputer jinjingku, dan membuka aplikasi perpesanan. Kucari pesan dari Bapak maupun adik perempuanku, dan aku menemukan sebuah pesan di antara telepon-telepon internet yang tak terjawab. Pesannya berbunyi "Mbahkung Slamet seda". Artinya "Kakek Slamet meninggal". Ya, Kakekku, orang tua Bapak, namanya Mbah Slamet, telah dipanggil oleh Sang Pencipta. Karena itulah, sahabat karibku pergi ke kosku untuk menyampaikan hal tersebut. Aku merasa benar-benar sangat terpukul, sangat sedih.

Tanpa pikir panjang, aku membereskan semua tanggunganku di Malang kurang dari 1 jam, menghubungi teman-temanku untuk menitipkan beberapa tanggungan, termasuk meminta maaf kepada sahabatku karena tak dapat mengantarnya untuk periksa, lalu mengemasi sebagian baju, dan memulangkan Black Angel ke Pandaan. Aku memang tidak diijinkan menunggangi Black Angel ke Klaten, karena Ibu meminta aku pulang bersamanya untuk mengawal, karena Bapak tinggal lebih lama di Klaten. Menyetop bis di depan gereja paroki, dan langsung: Bungurasih, Pak! Aku menuju ke Terminal Bungurasih, dengan harapan mendapatkan bis patas menuju Klaten. Sampai di Bungurasih, aku pun langsung dikerumuni para mandor bis dari berbagai perusahaan dan jurusan. "Klaten, Pak!", dan semua mandor bubar, kecuali 2 mandor dari perusahaan otobus favoritku. "Patas berapa, Pak? Uangku mepet nih!" Akhirnya mandor patas menyeretku, "Uangmu berapa?", "110 ribu, Pak". Dan mandor berkata "Naik saja, simpan 10 ribumu. Tiketnya  memang 100 ribu, dapat air mineral dan servis makan uwenak". Sebenarnya aku tahu semua fasilitas yang diberikan bis patas tersebut, namun aku hanya ingin menanyakan harga tiketnya saja.

Di dalam bis, aku hanya merenung, hingga beberapa menit setelah bis berangkat, Pak Kondektur membuyarkan lamunanku, "Ke mana, Mas?", "Klaten, Pak. 100 ribu ya?", sembari menyodorkan 2 lebar 50 ribu. Dan aku kembali merenung. Kenapa Mbah Slamet pergi? Io kan belum sempat libur Lebaran di Klaten, belum sempat ketemu Mbah Slamet. Maafin Io, yang waktu libur Natal sama semesteran kemarin nggak bisa pulang ke Klaten. Air mata berderai. Aku tahu bahwa air mataku akan mengalir, entah perlahan entah deras, dan karena itulah aku memilih duduk di barisan paling belakang.

Pukul 4 sore, aku telah berada di rumah keluarga Ibuku. Memang keluargaku berkumpul di sini terlebih dahulu, karena letaknya di pinggir jalan yang dilalui bis, dan karena motor sewaan untuk keperluanku selama di Klaten memang diambilkan oleh Pamanku, adik dari Ibu. Setelah aku berhasil memenangkan diri sejenak, aku bertanya pada keluargaku, "Mbahkung kenapa?". Jawabnya "Mbahkung kemarin siang panas, sorenya sesak nafas, trus malam harinya dibawa ke rumah sakit. Dini harinya dirujuk ke rumah sakit lain, namun ketika dibawa ke IGD RS rujukan, Mbahkung sudah duluan dipanggil Tuhan, Kak". Lagi, perasaan berkecamuk, namun kali ini sebisa mungkin tanpa air mata, dan memang tak ada air mataku yang menetes di rumah keluarga Ibuku. Kali ini aku bertanya kembali, "Trus dimakamkan kapan?", "Besok siang Kak, nunggu Ommu dari Kalimantan nyampe. Pesawatnya malam ini berangkat kok".

Malam hari. Aku dan keluargaku pergi ke rumah keluarga Bapak. Sudah ada tenda dan kursi yang tertata rapi, dan banyak saudara yang menanti kedatangan kami. Aku bersalaman dengan sanak saudaraku, dan langsung menuju ruang tamu. Di sanalah peti Mbahkung berada, dan belum ditutup. Di doaku, dalam hatiku, aku berucap:

"Mbahkung kenapa pergi duluan? Kenapa Io harus pergi ke Klaten dengan cara seperti ini? Io lho pasti ke Klaten pas Lebaran, cuma Tuhan yang bisa halangi Io buat ke Klaten pas Lebaran nanti. Tapi kenapa Mbahkung, kenapa? Io belum cerita sama Mbahkung, gimana kuliahnya Io, gimana suka duka yang Io rasakan sebagai mahasiswa. Io belum cerita soal cerita cintanya Io selama kuliah, yang mbuletnya bukan main. Mbahkung, Io ini cucu laki-lakinya Mbahkung yang paling tua. Io ini biker petualang, tukang riding motor yang pantang berhenti walau kesasar, sama kan kayak Mbahkung. Io baru aja mau naik motor ke Klaten, mau nunjukin bahwa darahnya Mbahkung ngalir dalam dirinya Io. Tapi kenapa? Kenapa? Sudahlah, Io nggak bisa berbuat apa-apa. Mungkin Tuhan lebih sayang lagi sama Mbahkung, dan mungkin sudah saatnya Mbahkung ketemu Mbah Putri di Surga. Tuhan, pastikan Mbahkung sama Mbah Putri ketemu disana, di Surga. Harus di Surga. Io pasti doakan Mbahkung sama Mbah Putri, biar ketemuan di Surga. Io pasti doakan, pasti. Io juga nyuwun pangestu (minta doa restu) untuk meneruskan kehidupan di dunia fana ini. Io mau Mbahkung sama Mbah Putri, dari surga, liat Io sukses". 

Lalu doa arwah dimulai. Aku tak dapat menahan air mataku. Aku, yang sebenarnya istimewa karena air mataku sangat jarang terlihat mengalir semenjak memiliki tinggi badan sama dengan Ibuku, akhirnya mengalirkan air mata dengan teramat deras. Aku kehilangan sosok petualang inspiratorku, yang bahkan karakter petualang ini berbeda jauh dengan Bapak. Tapi persis dengan Mbahkung. Aku, cucunya Mbahkung. Aku hanya dapat menangis dan menyesali pembatalan rencanaku untuk pergi ke Klaten, hanya karena aku tak mampu mengatur keuanganku. Begitu juga dengan Mbakku, kakak sepupuku. Juga adik perempuanku. Kami bertiga, cucu tertua di keluarga Bapak. Untuk pertama kalinya, kami menangis bersama, teringat akan masa-masa bersama Mbahkung, juga teringat akan janji-janji kami kepada Mbahkung yang belum terpenuhi, yang akan menjadi hutang abadi. Sekarang, janji kami hanyalah untuk menjaga dan membantu mendidik adik-adik kami. Hanya itu yang dapat kami lakukan.

Malam harinya, Pamanku, satu-satunya menantu laki-laki di keluarga Bapak, mendapat pinjaman kamera DSLR. Lalu Bapak memaggil "Kak, bisa pake DSLR kan? Ini Om dapet pinjeman DSLR, besok kamu jadi fotografer ya". Awalnya aku berpikir, mengapa keluarga ini pelit? Kalau aku jadi fotografer, bagaimana aku bisa ikut membantu memakamkan, atau setidaknya menabur bunga sebelum peti Mbahkung dipendam. Namun aku tak ingin mempersulit keadaan, "Oke Pak, bawa kameranya sekarang". Aku tak ingin peristiwa ini berlalu begitu saja. Aku ingin mengenang ini semua. Aku ingin mengabadikan ini semua. Toh memang dari kecil aku sudah dikenalkan dengan apa yang disebut kamera film, dan aku mempelajari fotografi digital secara otodidak. Aku mampu menggunakan DSLR meski belum pernah memilikinya. "Ini kameranya, Om udah beliin batere banyak, ada di dalem tasnya" ujar Pamanku, sembari menyerahkan tas berisi kamera dan baterainya. Lalu aku membawanya ke rumah keluarga Ibuku, karena aku harus bermalam disana, mengingat terbatasnya tempat di rumah keluarga Bapak.

3 April 2016. Hari dimana Mbahkung dimakamkan. Mulai dari rumah keluarga Bapak, sampai di Makam Katolik Semangkak. Aku berusaha mengabadikan segala momen. Toh meskipun kamera ini butuh 4 baterai, aku masih punya 8 baterai cadangan. Aku tak ingin semuanya terlewat. Ekspresi saudara-saudaraku, sampai ekspresi seluruh orang yang hadir melepas kepergian Mbahkung, hampir tak ada yang terlewat. Hanya satu yang kupikirkan saat memegang DSLR itu: Ini buat Mbahkung. Sebelum dimakamkan, Mbahkung disemayamkan di kapel makam, sambil menunggu liang kubur diperluas. Liang kubur, liang kubur Mbah Putri, istri Mbah Kung yang pergi terlebih dahulu, 10 Desember 2006. Ternyata, desain kijing (penutup makam) Mbah Putri ini didesain oleh Mbahkung, dan dipasang semi permanen, supaya Mbahkung kelak dapat dimakamkan satu liang dengan Mbah Putri. Romantis. Sungguh romantis.

Tengah hari, peti Mbahkung dipendam dalam tanah.

"Mbahkung sudah kembali ke dalam tanah, dan Io nggak bisa liat Mbahkung lagi. Io cuma bisa liat foto-foto prosesi pemakamannya Mbahkung, hasil karyanya Io. Dan Io yakin, hasil karyanya Io adalah yang terbaik. Ini persembahan Io buat Mbahkung, juga buat seluruh orang yang suatu saat ingin mengenang Mbahkung."

Air mata kembali berderai. Dan aku teringat satu hal:

"Tapi ada yang kurang ya. Io baru inget, kalo Io nggak pernah nyanyi di depannya Mbahkung. Padahal Io udah nyanyi sampe mana-mana, bahkan Io pernah nyanyi di depan Presiden, dan disaksikan secara langsung maupun dari layar kaca, oleh ratusan juta pasang mata, saat 69 tahun Indonesia merdeka. Io juga merasakan diantar oleh burung besi, dan menjejakkan kaki di negeri orang, karena bernyanyi. Ini talentanya Io yang paling besar. Dan bodohnya, Io nggak pernah nunjukin di depan Mbahkung. Tunggu Io ya Mbahkung, di Misa 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari, atau kapanpun itu, akan ada suara Io menyanyikan lagu untuk Mbahkung. Suara Io sendiri, tanpa suara orang lain."

Selesai sudah. Salah satu sosok gagah dalam hidupku, telah berbaring nyenyak dalam pangkuan Tuhan. Inilah jawaban dari semuanya: waktu. Lagu "Ayah" yang dinyanyikan Wakil Rektor 3, dan perasaan kehilangan Ayah. Hari tanpa susu kedelai Bapak Tua, dan sesak nafas yang dialami sahabatku. Dan waktu telah menjawabnya. Ternyata Bapakku yang kehilangan Ayah. Ternyata ini ibarat aku tak menyisihkan uang untuk susu kedelai, sama seperti aku tak menyisihkan uang untuk pergi ke Klaten. Dan ketika sahabatku sesak nafas, saat itu pula Mbahkung sesak nafas, dan pergi ke pangkuan Tuhan.


In memoriam, F. X. Slamet Pudyawinarsa
See you again, Mbahkung. Io sayang Mbahkung :')


Malang, 5 April 2016



Buat Mbahkung di Surga
Dari cucu laki-lakinya Mbahkung yang paling besar
Lus(io) Erian Pradana Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikomentari, gunakan bahasa yang sopan ya ! :)